Friday, January 27, 2006

Resiko

Resiko
Oleh : Boim Akar

"Love won't wait for you forever. If you let everything pass you by, you'll never find out how beautiful life can really be. Don't be afraid to get hurt; if you don't risk something you'll never gain anything."

Sebaris kata-kata diatas sepintas lalu sepertinya memang tidak terlalu bermakna. Namun jika kita coba resapi lebih dalam, ada sejuta makna tersimpan dalam kalimat pendek tersebut. Cinta tidak akan menunggumu selamanya. Jika kamu membiarkan ia lewat begitu saja, kamu tidak akan bisa menemukan betapa indah kehidupan. Jangan takut menderita, karena jika kamu tidak mengambil resiko kamu tidak akan mendapat apa-apa.

Ada satu kalimat bijak yang bisa kita ambil dari kalimat tersebut, if you don't risk something you'll never gain anything." Risk dalam kamus Oxford Learners Pocket Dictionary New Edition artinya possibility of meeting danger, suffering loss, etc. Yang dalam terjemahan Bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai kemungkinan menemui bahaya, menderita dan lain-lain.

Dalam kehidupan, kadang kala kita dihadapkan pada satu yang keadaan dimana mengharuskan kita menentukan pilihan. Bisa jadi apa yang akan kita putuskan tersebut tidak selamanya menyenangkan kita. Kadang kala itu justru membuat kita rugi, kacau, atau bahkan mungkin terpuruk. Ibarat buah simalakama, jika melangkah kedepan, ada yang sakit, jika melangkah kebelakang ada yang luka. Susah memang, namun kita harus putuskaan.

Itulah resiko. Dalam setiap sendi kehidupan kita, akan selalu menemui hal-hal seperti itu. Tidak semuanya besar, ada kalanya hanya hal-hal sepele. Bangun kesiangan resikonya terlambat sampai ke tempat kerja, terlambat makan resikonya maag, dan masih banyak lagi contoh-contoh yang sederhana dalam kehidupan sehari hari.

Dalam dunia pendakian, factor resiko menjadi penting untuk kita perhatikan. Ini erat kaitannya dengan kesiapan tiap individu dalam melaksanakan kegiatan out door ini. Kadang, beberpa pendaki berpendapat, biarkan saja alam yang akan bercerita, bukan kita. Maksudnya, biarkan alam yang akan memberikan mereka pengalaman sementara mereka tinggal menikmati dengan enak. Padahal, kesiapan dalam sebuah pendakian akan membantu kita bisa menikmati alam lebih baik. Bayangkan saja, jika kita harus memaksakan diri tidur beratap langit dalam keadaan hujan turun, badai kabut, sementara kita tidak membawa tenda karena kita pikir sudah cukup dengan membawa sleeping bag saja. Sedang factor cuaca tidak menjadi perhitungan kita.

Baru-baru ini, gencar beredar berita di millist-millist yang memberitakan beberpa orang yang tersesat di gunug Lawu. Mereka dalam keadaan kurang persiapan dan menghabiskan sisa makanan pada hari terakhir perjalanan. Siapa tahu ketika mereka selesai makan dan baru berjalan beberapa meter, badai datang dan menyergap mereka hingga dalam hitungan hari?

Itulah resiko. Sekecil apapun memang harus dengan perhitungan. Meminimalisir keadaan menjadi tidak berbahaya atau menjadi lebih kondisif dalam setiap kegiatan kita, bisa jadi jawabannya. Memang, tidak mungkin kita hilangkan, atau kita tiadakan. Namun minimal ada sedetik kita untuk bisa bernafas lebih lega dan merasa aman, ketika persiapan sudah kita lakukan dengan baik. [bm270106]

Wednesday, January 25, 2006

Teguran Yang Indah, Egois

Teguran Yang Indah, Egois
Oleh : Boim Akar

Suatu kali, saya pernah mendapati email dalam inbox saya berbunyi kurang sedap. Dari seorang teman baik saya. Bunyinya kira-kira seperti ini, “ Lagaknya baca ANAPURNA ama INTO THIN AIR, Ngomongin Everest, padahal bikin simpul pangkal aja nggak becus. Temen di tinggalin di belakang biar mapus. Dasar Rempakem! “ dan seterusnya.

Saya tertegun, ada perasaan marah sebetulnya. Apa maksudnya? Kenapa harus saya? Saya tidak seperti itu. Dan seribu pembelaan dalam benak saya menekan-nekan otak untuk segera dikeluarkan. Saya mencoba menuliskan pembelaan dalam email saya, tapi urung saya lakukan. Lalu, seorang teman menghubungi saya, dia bilang “ dalem”. Saya tahu sekali maksudnya. Hati saya tambah sakit.

Saya membaca email tersebut berulang-ulang. Seakan tidak puas bahwa mata sudah bisa membaca nya dengan jelas. Takut ada satu dua kata yang terlewat sehingga salah menafsirkan artinya. Namun, tidak ada yang berubah.Semuanya masih sama seperti ketika saya membacanya pertama kali.

Mata menerawang jauh. Otak berusaha membongkar file-file lama yang tersimpan rapi dalam berangkas arsip di kepala. Satu-satu saya buka sampulnya. Kemudian perlahan-lahan saya cermati isinya. Dua buku tersebut memang saya baca sampai tuntas. Bukan sekali. Beberpa kali memang. Anapurna mencertiakan pendakian 13 orang perempuan menaklukan puncak yang teramat sangat ekstrim. Puncak bersalju dengan kelembaban rendah dan angin yang menggampar seperti hendak mencabik. Ada banyak ilmu disini. Manajemen perjalanan modern dan persiapan sebuah ekspedisi. Pergulatan batin diantara para pendaki perempuan yang meninggalkan rumah, anak, suami untuk mencapai ambisi mereka. Meski toh, pada akhirnya kesemuanya sukses menempatkan mereka pada jajaran pendaki-pendaki top dunia. Sedangkan Into Thin Air, adalah kisah pengalaman seorang wartawan dalam pendakian ke tanah tertinggi di bumi, Everest, yang menjadi legenda. Siapa yang tidak pernah membacanya? Semua orang membaca kisah mengharukan itu.Kisah yang membuat si wartawan menjadi sangat ternama. Dan pernah dibuat filem juga. Saya rasa, semua anak gunung di Indonesia pernah nonton filem tersebut dan membaca buku-buku itu. Lalu untuk membicarakan masalah Everest, adakah yang salah? Semua orang memposting ke millist-millist setiap info terbaru dari Everest. Memberikan kabar-kabar lama yang selalu melegenda, tentang orang-orang yang mendaki nya, orang-orang yang meninggal disana, hingga masalah tumpukan sampah dan kaum Sherpa yang meski tinggal disana masih harus terus-menerus hidap dalam strata nomor dua.
Point kedua membuat mata saya terbelalak. Sejauh itukah sebenarnya saya melangkah? Dari dulu, saya memang menyukai olah raga ini. Berjalan di kelebatan hutan, menyusuri jalan setapak yang berliku, menuruni jurang dan lembah mencapai puncak tanah-tanah tertinggi, dan mengabadikan sejuta keindahan lukisan Tuhan lewat mata hati.

Alangkah bodohnya saya, ketika sadar bahwa point-point besar sudah diraih, tapi banyak hal kecil namun sangat penting justru terlewat karena ego saya. Malas mempelajari hal-hal kecil tersebut. Simpul pangkal. Sebuah kombinasi simpul yang digunakan untuk permulaan membuat tandu darurat. Jika terjadi sebuah kecelakaan yang membuat seseorang tidak bisa berjalan dialam bebas, mau-tidak mau simpul pangkal dibuat. Tandu darurat harus disiapkan. Ini sama saja membuat pondasi pada rumah yang akan dibangun. Lalu bagaimana bisa sebuah rumah berdiri kokoh jika pondasinya saja bobrok? Bagaimana kita bisa menyelamatkan seseorang disana pada keadaan itu, jika dasar ilmu nya saja kita tidak tahu?

Pendakian terakhir saya bongkar dari file memori otak saya. Setumpuk lebih. Belembar-lembar halamannya. Hanya ada satu yang mengganjal dan sudah di blok warna merah darah pada judulnya. Gede Pangrango pada pendakian bersama beberapa orang dari millist. Membawa serta beberapa teman dari luar kota dan salah seorangnya adalah pemula. Malu rasanya membuka lembaran itu kembali. Tapi saya kuatkan menelusurui satu-satu rangkaian cerita didalamnya.

Saat itu, ketika summit attack dimulai pada siang hari, dan berakhir pada sore hari, ada ketimpangan karena ada seorang pendaki dan dua orang masih terjebak di belakang hingga malam menjelang. Kaget, sudah pasti. Tapi ternyata beberpa teman yang lebih kuat sudah pulang dan duduk manis di tenda, sementara yang dibelakang sedang berjuang melawan gelap dengan cahaya lampu senter yang hampir padam. Saya terhenyak. Menyadari betapa bodohnya jika saat itu, teman kami itu tersesat karena kelelahan, atau tersandung, jatuh dan patah tulang akbibat penerangan yang buruk. Hingga ketika beberapa orang berinisiatif untuk menjemput, kaki ini rasanya enggan sekali melangkah. Ada apa dengan saya? Sebegitu kah ego saya ketika melawan keadaan darurat?

Paginya, saya sempat berfikir ketika berjalan didepan. Ini adalah pembuktian. Namun tidak, ternyata saya salah besar. Saya sudah meninggalkan seorang pendaki pemula dengan dua orang yang berjalan terseok-seok dibelakang.

Kaki saya lemas, menyadari kebodohan itu saya buat berulang-ulang. Mendaki gunung, menginjak tanah-tanah tertinggi bukan untuk membuktikan kekuatan pada kawan-kawan lain yang lemah. Meninggalkan kawan dibelakang dengan segala keterbatasan dan segala kelemahan nya, menganggap diri lebih baik dari yang lain, adalah sebuah kebodohan. Resiko yang akan diambil bisa jadi lebih berat dari sekedar celaka.

Kawan ku hari ini, menampar ku dangan sebuah perkataan yang ringan. Namun rasanya bagai sebuah badai yang melibas sekujur badan. Pembelajaran yang membuat saya kembali berfikir, apakah saya memang mendaki untuk diri saya sendiri, dengan mengabaikan orang lain dilingkungan saya. Dan bukan untuk apa-apa. [bm 250106]

Catper Bodogol

PUSAT PENDIDIKAN KONSERVASI ALAM BODOGOL
TNGP, Bukan Hanya Mendaki Gunung
Oleh : Boim Akar

Berkunjung ke Taman Nasional Gunung Gede Pangrango [TNGP], tidak harus mendaki gunung. Keeksotisan kawasan taman nasional yang di dirikan pada tahun 1980, dan merupakan satu dari lima taman nasional yang pertama di Indonesia, seluas lebih dari 15.000 meter persegi ini, dapat juga kita nikmati dengan berjalan-jalan santai dan melakukan pengamatan lingkungan dan konservasi alam di PPKA Bodogol atau Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol

Jika kita akan melintas kearah Sukabumi, cobalah menengok ke sebelah kiri jalan kita. Sebuah danau akan nampak mempesona dengan panorama alam yang menakjubkan. Kawasan Lido resort. Yap. Begitulah tempat ini diberi nama, sama dengan nama desa lokasi danau tersebut. Namun, tahukah kita, bahwa di sekitar tujuh kilometer dari danau ini, terdapat satu bagian dari wilayah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang sangat menawan untuk di kunjungi. Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol. Lokasinya yang agak masuk kedalam, memang terasa kurang popular dibandingkan dengan kawasan lain dikaki Gunung Gede Pangrango, seperti Taman Raya Cibodas atau Danau Situ Gunung. Namun jangan salah, karena keeksotisan wilayah ini, akan sangat menyegarkan pikiran yang sudah seminggu penuh berkutat dengan pekerjaan kantor.

Setelah merasa cukup mendapatkan informasi untuk kegiatan NFH3+ yang akan diadakan bulan April mendatang, kami segera bergegas menuju Bodogol. Entah karena hasrat untuk bertualang yang sudah sedemikian besar, atau memang rasa rindu akan keteduhan, kesejukan dan aroma pinus yang pekat yang membawa saya kembali kesini lagi. Ini, memang bukan yang pertama, dua tahun yang lalu, saya pernah kesini, bermalam dan menikmati indahnya malam di catwalk yang ditersedia untuk mengamati burung-burung dan pengamatan lain. Kali ini dengan ditemani beberapa teman dari Nature Trekker Indonesia. Perjalanan kami mulai dari titik Lido. Namun sebelumnya, kami memang sudah menghubungi Bapak Asep Suganda, salah seorang petugas disini untuk bisa mengantar kami ke lokasi. Dengan diantar mobil yang disediakan oleh pengelola, rombongan kami bergerak memasuki kawasan Lido resort.
Udara yang teduh, menyambut kami siang ini. Kawasan ini, memang merupakan kawsan yang sudah di kelola baik, sehingga akses jalan di sepanjang Lido resort sudah semuanya di konblok. Pohon-pohon palm sudah ditata dengan baik dikiri kanan jalan.

Namun jangan heran, memasuki desa Bodogol, kita akan menemui jalanan yang sangat berbeda. Tanah liat dan licin, akan menyabut kita. Jadi jika anda akan mengunjungi lokasi ini dengan kendaraan sendiri, pastikan mobil anda adalah 4WD dan jangan sedan. Karena lokasi off road akan sangat tidak mungkin dilalui oleh kendaraan bergardan rendah.

Lima menit dari batas antara Lido Resort dan Desa Bodogol, kita akan sampai di Visitor Center. Disini, kita akan mendapatkan bermacam-macam informasi mengenai lokasi dan fasilitas yang akan diperolah selama didalam kawasan. Termasuk berapa dalam kocek yang akan kita keluarkan. Pusat informasi ini, akan buka sepanjang hari, dari Senin sampai Minggu. Dengan dibantu oleh pemuda-pemuda disekitar lokasi, sebagai tenaga volunteer atau yang mereka sebut Interpretener. Kita juga akan didampingi oleh satu atau dua orang dari para volunteer tersebut memasuki kawasan konservasi alam. Mereka akan bertugas untuk memberikan informasi dari semua yang ada di lokasi konservasi, termasuk mengantarkan anda ke lokasi-lokasi trekking yang sudah di sepakati. Untuk ini, anda akan dikenakan charge tersendiri, sebagai ekstra guide.

Menurut sang pemandu, Jamal dan Andri, yang menemani kami, hujan turun tiap hari sepanjang pekan ini. Jadi tidak heran jika mobil pick up non wheel drive yang disediakan oleh balai konservasi untuk mengantar kami, berkali-kali terperosok. Lubang-lubang di sepanjang perjalanan, ditambah tanah yang licin dan genangan air, membuat sopir kami berkali-kali dengan susah payah membanting setir ke kanan dan ke kiri. Dan kami yang menumpang, serasa berarung jeram ria di tanah berlubang ini. Sementara ladang-ladang penduduk yang didominasi tanaman cabai dan jagung, ada di kanan kiri jalan, dibelakang kami, gunung Salak, diselimuti kabut tipis. Nampak anggun dengan ceruk-ceruknya yang nampak samara-samar. Di puncaknya, kabut tebal menaungi laksana cincin besar dijari seorang raksasa. Eksotis. Hutan pinus di seberang kiri kami diantara sebuah jurang dalam nampak sangat mempesona. Hijau dan damai. Sementara diatasnya, puncak Gunung Pangrango malu-malu menyampaikan salam menyambut kedatangan kami.

Isi perut rasanya seakan akan hendak keluar, menahan bantingan-bantingan kendaraan yang semakin menjadi. Dan pada sebuah ceruk dalam berisi air, mobil yang kami naiki terpelanting. Bannya pecah. Jadilah kami, harus mendorong kendaraan yang terperosok ke lumpur yang lumayan dalam. Sementara menunggu pak sopir ditemani dua pemandu mengganti ban, kami mengabadikan moment ini dengan mengambil beberapa gambar pemandangan yang lumayan bagus. Latar belakang langit mendung diatara kabut berwarna putih.

Perjalanan kemudian dilanjutkan memasuki kawasan batas hutan. Batas ini, adalah batas antara perkebunan penduduk dengan daerah konservasi. Jalanan berbatu rapi, namun bolong di tengahnya. Jadi, jika melintas dengan mobil, dibutuhkan ekstra hati-hati agar mobil tak terjebak ketengah. Hutan pinus dengan tajuk-tajuk menengah akan kita jumpai sepanjang perjalanan. Kelembaban yang luar biasa pekat. Jalanan yang masih becek akibat hujan yang turun terus menerus, membuat jalanan nampak seperti sebuah kubangan. Bau aroma pinus menyengat menyegarkan pikiran. Semenatra udara segar, menyeruak masuk melalui kaca mobil yang sengaja saya buka lebar-lebar.

Kondisi Seputar Resort
Genset Pembangkit Listrik
Lebih dari satu jam, kami harus berada dalam guncangan mobil. Sejurus kemudian, sebuah gerbang nampak didepan kami. Tandanya kami sudah memasuki daerah resort di dalam kawasan ini. Suara burung-burung menyambut kami dari kejauhan. Riuh dan merdu. Seakan lagu selamat datang yang diciptakan Tuhan dan dinyanyikan dengan sangat indah oleh orkestra alam dalam simponi yang sangat lembut. Didepan kami, nampak beberapa bangunan yang berdiri dengan kokoh. Paling luar adalah sebuah gazebo kecil yang sangat nyaman, dan dapat melepaskan pandangan secara luas kearah barat, tempat gunung Salak bertahta. Sebuah pemandangan yang menyejukkan mata, langsung masuk dalam memori otak kami yang sudah mulai fresh. Diatasnya sebuah bangunan untuk volunteer, dan berderet keatas adalah, kantin, gazebo kedua dan resort yang bisa disewa untuk menginap. Dan yang paling ujung adalah, sebuah bangunan yang lebih kecil, untuk kantor pengelola.

Lengkap sudah, dibelakang resort menginap ada sebuah bangunan kecil tempat menyimpan genset untuk penerangan listrik yang akan dinyalakan apabila ada yang menginap. Tapi jangan berharap akan ada penerangan sepanjang malam, karena genset hanya akan hidup dari jam enam sore sampai pukul sepuluh malam. Kita akan dikenakan charge tambahan jika ingin menambah jam nyala lampu, beberapa ribu rupiah. Wajar saja, selain lokasi yang lumayan terpencil dan harus mendatangkan bahan bakar dari desa terdekat, biaya perawatan genset juga menjadi faktor penting dari usia si pembangkit listrik ajaib ini. Sayangnya, untuk saat sekarang genset tidak bisa digunakan, karena rusak. Kerusakan ini sudah berlangsung beberapa bulan dan nampaknya masih belum bisa diselesaikan. Menurut seorang guide, lampu penerangan diganti dengan petromaks. Nampaknya akan lebih menyenangkan bukan?

Catwalk dan Canopy Trail
Berjalan menyusuri lebih kedalam, kita akan disuguhkan beragam tanaman endemik gunung Gede Pangrango dan tanaman yang konon di bawa dari Afrika. Jauh juga yah. Mungkin pada masa yang lalu, para peneliti dengan tujuan tertentu yang membawanya kemari. Jalanan berupa konblok yang berlumut, terasa licin setelah siraman hujan yang cukup deras. Tidak jauh dari pintu pertama masuk, terdapat sebuah catwalk yang berukuran sekitar 5x5 meter. Tapi ini, bukan catwalk layaknya tempat pragawati-pragawati berlenggak-lenggok memamerkan busana-busana baru perancang terkenal. Catwalk disini adalah sebuah lantai dari kayu yang menjorok kejurang layaknya sebuah rumah pohon. Dengan dinding pembatas terbuat dari besi bulat yang dingin, tempat ini sangat cocok untuk bersantai. Dari sini, kita bisa memandang lepas kearah barat dan menyaksikan pemandangan alam yang menakjubkan indahnya. Dan jika cerah, pemandangan matahari tenggelam bisa kita nikmati dari sini.

Puas berlama-lama disana, kami memutuskan melanjutkan perjalanan menyusuri jalanan licin yang sudah tertata rapi. Pohon-pohon tinggi yang didominasi oleh tumbuhan tajuk menengah dan bawah, menambah kelembaban udara disini. Hujan sudah mengguyur dari tadi, tapi semangat mengeksplorasi dan bertualang kami, tidak menyurutkan tekad untuk terus berjalan. Raincoat kami cukup untuk menghindarkan kami dari kuyup air hujan.

Setelah setengah jam berjalan, didepan kami terbentang sebuah kanopi trail yang elok. Tinginya sekitar lima belas meter dengan jarak tempuh sekitar 100 meter. Canopy ini dibangun tahun 1997. Jadi usianya sudah mencapai delapan tahun. Sayangnya kami tidak dapat menyeberang dan harus berbalik mundur ke lokasi semula, karena faktor keamanan. Karena usia yang sudah lumayan tua, dan disebabkan karena rusaknya kanopi tertimpa dahan pohon. Padahal, sewaktu saya pertama kesini, kami bisa memutar melalui jalan yang lain. Menurut keterangan dari Bapak Asep, kerusakan kanopi pernah diperbaiki, dengan bantuan dana dari sebuah Bank swasta dunia, namun karena alam yang berkehendak lain, maka jadilah sebatang dahan besar menghantam kanopi hingga rusak seperti sekarang.

Mengamati Owa Jawa
Setelah mengambil beberpa gambar, kami bergegas kembali ke resort untuk makan siang. Hujan gerimis masih menemani kami. Curahnya menyegarkan badan yang sudah lama berjalan menyusuri kerimbunan pohon-pohon. Meski beberapa kali harus terpeleset dan jatuh, namun semangat masih berkobar dalam hati kami. Ditengah perjalanan, kami beristirahat untuk sekedar menarik nafas lega. Sebungkus donat yang kami beli di bogor, langsung di santap dengan manisnya. Potong demi potong masuk kedalam tenggorokan dengan lancar. Belum lagi sedikit teh manis yang sengaja di bawa dari rumah. Riuh rendah gurau tawa kami, memecah keheningan alam yang semakin mempesona.

Kami, mampir kembali ke catwalk dalam perjalanan pulang. Seolah belum puas dengan pemandangan alam disini.

Sudah pukul satu lebih lima belas menit. Pantas jika kami sudah merasa lapar. Sesampainya dikantin, bekal makan kami buka. Beramah tamah dengan beberapa petugas, sudah pasti harus dilakukan. Sebungkus rokok dan beberapa gelas kopi panas, menjadi teman kami berbincang-bincang siang ini. Sementara beberapa kawan perempuan menyiapkan makan siang untuk kami. Mmm, betapa nikmatnya makan dialam terbuka dengan pemandangan indah dan hawa yang sangat sejuk.

Sedang asiknya berbincang, kami dikejutkan oleh suara seorang penjaga yang memberi tahu kami akan kedatangan seeokor Owa Jawa (Hylobates moloch). Seolah tak percaya saya mendengarnya. Kenapa bisa. Yah, karena species primata yang satu ini, hanya bisa ditemui jika kita memang benar-bener beruntung. Di kanopi trail dan sekitarnya, disinyalir adalah lokasi paling banyak dijumpai Owa Jawa dalam kawasan ini. Kadang, para pemandu pun akan sangat susah menentukan dimana lokasi yang paling mudah untuk melihat atau menjumpainya. Namun namaknya kali ini, kami termasuk beruntung. Karena dari lokasi resort pun, kami sudah bisa menyaksikan hewan langka dan dilindungi ini.

Primata-primata ini, dengan santainya bergantungan di atas tajuk-tajuk pohon Afrika, mencari makan. Beberapa menghadirkan atraksi yang sangat memukau. Sungguh sebuah pengalaman yang sangat berharga. Bergelantungan diantara rimbunan pohon Afrika dan sesekali berpindah tempat dengan sangat manisnya. Sungguh ajaib. Rasanya ingin sekali bermain-main bersama mereka. Namun nampaknya mereka masih malu-malu dengan kami, hingga hanya bisa mengintip dari balik rimbunan pohon.pohon.

Air Terjun Cikawengi
Hari terus bergulir. Udara sore memanjakan kami. Perut yang kenyang dan hawa yang sejuk, membuai angan untuk segera terlelap. Namun apa daya, karena satu target masih harus di jelajahi. Yah, air terjun yang hanya berjarak lima belas menit dari resort. Walau tidak seberapa tinggi, namun cukup untuk menyegarkan pandangan. Pada akhirnya, hanya separuh dari kami yang terus berjalan ke spot berikutnya.

Dalam kawasan ini, setidaknya ada dua air terjun yang mempesona untuk dikunjugi. Air terjun Ciparadaanteun, yang berjarak sekitar 2jam berjalan lambat, atau sekitar 4 kilometer dari resort dan air terjun Cikawengi yang hanya berjarak 15 menit dari resort. Alasan waktu dan cuaca yang sudah tidak memungkinkan menjelajahi yang pertama, kami memutuskan menjelajah yang kedua. Berbekal semangat dan bahan bakar nasi bungkus, kami kembali memasuki hutan pinus.

Ternyata yang kami masuki adalah hutan produksi. Artinya, pohon-pohon pinus disini memang diberdayakan untuk disadap getahnya, sebagai bahan baku pembuatan campuran cat atau tiner dan sebagainya. Disepanjang perjalanan kami berkali-kali melihat bekas cakaran macan kumbang atau macan tutul pada batang-batang pinus. Merinding juga, membayangkan mereka mencakar-cakar batang-batang kayu untuk meruncingkan cakarnya, dan menandai daerah kekuasaannya. Dikawasan ini, memang masih menyisakan beberapa species hewan karnivora yang satu ini. Namun jumlahnya sudah sangat berkurang. Banyak faktor secara teori yang menyebabkan berkurangnya habitat satwa, dari predator lain, rantai makanan yang terputus, kurangnya mangsa, sampai pada usia yang memang sudah tua.

Menurut keterangan Jamal, pernah ada macan tutul yang masuk kepemukiman penduduk dan memangsa kambing dari kandangnya. Hal ini disinyalir akibat tidak adanya ketersediaan makanan yang cukup. Secara teori Macan berada di rantai makanan paling atas. Makanannya bisa berupa kijang atau babi hutan. Maraknya perburuan liar dikawasan ini beberapa waktu yang lalu, membuat popolasi babi hutan menurun dan para pemangsa itu terpaksa harus masuk perkampungan untuk mencari makan. Namun jangan khawatir, para pemangsa ini, sangat malu pada manusia. Pada radius kiloan, macan akan menghindar bertemu dengan manusia.

Jalan menurun dan basah kemudian berbelok ke kiri. Ternyata ada jalan besar yang biasa di gunakan sebagai lokasi off road para pecinta tantangan alam liar dengan kendaraan mobil. Namun, saya sempat menyayangkan, bahwa justru hal ini terjadi di daerah konservasi alam, yang seharusnya, kehidupan berjalan dengan apa adanya. Tidak dengan deru mobil dan hancurnya jalan akibat dari kerasnya roda-roda Land Rover yang berusaha menaklukan rintangan alam.

Air terjun Cikawengi, merupakan sebuah air terjun berketinggian sekitar sepuluh meter. Batu-batu besar teronggok apa adanya dikanan-kiri nya. Lokasi yang sejuk dan jarang terkena sinar matahari, nampaknya jadi tempat yang manis untuk pacet berkembang-biak. Saya melepas sepatu dan berusaha naik ke sebuah batu besar didepan air terjun. Uap yang terjadi akibat derasnya arus, langsung membuat baju dan celana saya basah. Nikamat rasanya. Menikmati suara gemuruh air diudara sejuk. Dan benar saja, baru beberapa detik, seekor pacet sudah dengan manisnya “nongkrong” diatas tangan saya. Malah, dua guide kami sudah dari tadi sibuk menyingkirkan mereka dari kakinya.

Perjalanan Yang Menyenangkans
Puas rasanya. Saatnya kembali ke resort. Dimana beberapa teman kami menunggu. Perjalanan pulang ditempuh dengan rute yang berbeda. Tidak lagi masuk hutan pinus namun mengikuti jalur offroad ke atas, dan berujung di depan gerbang PPKAB. Udara masih seperti tadi, sejuk dan damai. Matahari bersinar malu-malu, sementara hujan, sudah reda sama sekali.

Sore merambat naik perlahan. Saatnya berkemas dan pulang. Mobil yang disediakan oleh pengelola, masih setia menunggu kami ditempat parkir semula. Beberapa pegawai yang memang bekerja pada Taman Nasional, juga sudah harus kembali ke bawah. Bayangkan saja, berapa kilo mereka harus modar-mandir setiap hari, jika tidak ada kendaraan yang masuk kelokasi. Setelah packing selesai, mobil melaju perlahan meninggalkan resort. Sejuta kenangan masih menari-nari dibenak kami. Namun jangan salah, petualangan masih belum usai. Karena kami harus kembali melalui jalanan yang licin dan basah. Belum lagi resiko pecah ban seperti saat datang pagi tadi.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Mobil yang kami naiki, lagi-lagi bernasib apes. Harus terperangkap dalam lumpur dan pecah ban. Nampaknya, ini yang terakhir bisa dilakukan. Karena memang ban serep yang sudah tidak ada lagi. Kami pun akhirnya memutuskan untuk berjalan kaki, hingga ke Visitor Center. Melewati perkebunan penduduk yang segar, menyaksikan bentang alam Jawa Barat yang permai. Gunung Salak menampakkan kemolekannya tepat didepan kami. Warnanya hijau pekat. Sebuah awan putih melintas perlahan. Sesampainya di Visitor Center kami beristirahat dan beramah tamah dengan pihak pengelola. Menyelesaikan administrasi dan kemudian bertolak ke Lido dengan diantar sepeda motor. “ Ini sudah di charge ke kami,” kata Pak Asep sebelum kami pulang. Jadilah lengkap pengalaman menaiki motor dijalan berlumpur dan licin dengan sepeda motor.

Sebagai lokasi konservasi, PPKA Bodogol memang menyajikan sebuah pengalaman tidak terlupakan. Kelestarian yang masih cukup terjaga baik, merupakan sebuah bukti kemitraan antara pengelola dengan masyarakat. Saat ini, pihak pengelola sedang gencar-gencarnya membuat program pengenalan alam kepada siswa-siswa sekolah dari mulai sekolah dasar, lanjutan hingga ke perguruan tinggi. Lokasi tempat beragam flora asli endemik Gunung Gede dan tempat perlindungan terakhir bagi Owa Jawa (Hylobates moloch) dan Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) yang keduanya adalah endemic asli pulau jawa, sudah sepatutunya mendapat perhatian lebih dari pemerintah daerah maupun pusat. Keragaman hayati yang sangat baik ini, akan menjadi asset sangat mahal di kemudian hari, namun bisa jadi bukan apa-apa jika tidak ditangani secara serius.

Lengkap sudah perjalanan kami kali ini. Menyisakan sebaris cerita yang kelak, bisa kami paparkan dengan bangga kepada anak cucu kami kelak. [bm 230106]



Nature Trekker Indonesia goes to Bodogol:
Featuring;
Bongkeng, Sam, Irma, Ismi, Enoy, Vera, Heri, Boim

Producer Pelaksana;
Nature Trekker Indonesia

Ide Kegiatan
Rame- Rame

Penulis Naskah
Boim Akar

Konsumsi
Warung Padang Seberang Lido


Terima kasih
- Tuhan Yang Maha Esa
- NTI
- Bp Asep Suganda – PPKA Bodogol

Friday, January 20, 2006

Durjana

Andai saja tak ada malam durjana itu
pasti hari ini aku masih bisa menikmati masa muda yang indah
tanpa cemas akan kematian
tanpa waswas ancaman akan menyergap kapan-kapan
hidup akan berasa lebih berwarna

Tapi ada baiknya juga malam durjana itu
aku bisa lebih jadi manusia seutuhnya
merasakan nikmat dunia dari sisi orang dewasa
bukan dari mata seorang anak yang merengek
minta di belikan baju oleh bapaknya

Pada malam penuh mantra
ada kepulan asap bersama kemenyan dosa yang ku bakar
diantara keringat yang tertetes di ketiak dan dahi
membakar malam dengan bara

kita
berdua
berdosa

Sampai Kapan?

Sudah lebih setahun tak ada berita dari nya. Hingga hari ini, aku mendapati sebuah email baru dalam inboxku. Aku menekur, diam dan tak bisa bergerak. Ada perasaan yang entah apa namanya.

Subject : Bad News
Dear Sweete
I'm so sorry about this. I could not fly to see you this session.
My work is getting creazy. And my boss did not allow the vacation.
Its only 2 days each to have a holiday, would not be enough to fly to you
please be understand.

love you
Maria, Belgium

Hati ku terpaku. Bisu. Setelah sekian lama.
Sampai kapan?
entahlah

Saturday, January 14, 2006

Cyber Camp - Akhir Tahun di Keteduhan Halimun

Cyber Camp
Kolaborasi Akhir Tahun di Keteduhan Halimun

Subuh baru saja usai. Irama dendang burung-burung pagi mulai nakal menggelitik, Hembusan angin yang sedikit kencang, menggetakan tiang-tiang tendaku. Balutan selembar kain maih mentup kaki dan seluruh badanku. Cukup hangat. Untungnya, cuaca hari ini, lumayan bersahabat. Aku membuka mata pelan, dua orang penghuni tenda lainnya sudah pergi entah kemana. Mungkin mandi atau mungkin juga sudah pergi mengambil jatah bubur kacang hijau dari panitia.

Minggu pagi awal Januari dua ribu enam. Selamat pagi. Selamat mengarahkan kehidupan kepada langkah baru yang panjang dan manis. Aku menggumam. Menarik kembali sleeping bag kesayangan ku. Meluruskan badan. Tapi mata tak juga mao terpejam. Aku menerawang.

“ De, ayo bangun, dah jam setengah lima nih, kasihan anak2 pada nunggu tar, kelamaan.” Kataku membangunkan seseorang yang masih tidur pulas. Yah, hari ini kami memang harus ekstra pagi berangkat ke meeting point Cyber Camp 2005 yang akan di gelar 2hari satu tahun di TNGH. Jarak rumah ke Jl Rasuna Said kuningan yang lumayan jauh, membuat kami harus berkemas dan cepat-cepat berangkat. Belum lagi karena ada beberapa teman yang pastinya sudah garing menunggu dari tadi.
Yang di tegur ternyata Cuma menjawab kecil dan kembali molor. Ampun…detik terakhir, tak ada pilihan lain kecuali menari kakinya dan diseret sampai kamar mandi. Jadilah ia berteriak-teriak sepagi ini.
“ Tumben udah mandi jam segini, mao hujan apa mo panas yah?” kata ibu
Aku Cuma bisa ngakak sambil berlalu.

Pukul setengah enam, kami bertolak ke Kuningan dengan mengendari bus umum. Sepagi ini jalanan memang belum terlalu ramai, jadi target satu jam, masih bisa di kejar. Kami berenam, akhirnya berangkat. Aku, Kissin, Deden, Kotax, Esti dan Sandi.

Di Kuningan, rombongan sudah berkumpul. Ada empat truk tronton menunggu untuk berangkat. Kurang satu. Sementara pendaftaran ulang peserta juga sudah mulai dilakukan. Aku yang menjadi coordinator dari millst pendaki sedikit aneh, karena tidak ada yang mencari ku. Padahal sebentar lagi, rombongan sudah akan berangkat. Dan pada menit-menit terakhir, kami semua sudah berkumpul. Akhirnya pada pukul delapan tepat, rombongan membelah jalan-jalan di keramaian Jakarta. Ada lima tronton yang bergerak beriringan, membentuk satu rangkaian panjang. Keceriaan yang nampak, terpancar dari raut muka para peserta. Jalanan yang di tempuh lumayan lancar, hampir tanpa macet sama sekali.

Menjelang siang hari, iring-iringan memasuki Kabupaten Sukabumi. Kami berbelok di pertigaan Parakan Salak, mengambil arah kekanan dan lurus. Jalanan besar berganti menjadi jalanan sempit dengan warung-warung dan sebagainya. Kehidupan semi kota. Sementara sepanjang jalan, banyak sekali dijumpai timbunan kayu-kayu potong yang sudah siap di pasarkan. Entah, dari mana hasil hutan ini. Penebangan liarkah, atau memang memberdayakan hutan industri atau PIR? Entah lah, pertanyaan itu sampai detik ini masih bersarang di otak dan belum keluar jawabannya.

Jam bergerak dengan lambat. Udara semakin dingin. Rintik hujan dijalur licin membuat mobil yang kami tumpangi berhati-hati sekali. Jembatan pertama, diperbatasan sebuah desa bernama Kabandungan, terlihat sangat rawan, jadilah kami harus turun dari truk dan menyebrang keseberang, sementara truk melintasi sarana penyebrangan itu dengan kosong. Baru saya sadari ketika akan pulang, ternyata jembatan itu, sangat-sangat rapuh, mungkin jika menahan beban lebih berat lagi akan sangat sulit untuk bisa bertahan.

Kami melaju terus, lia truk membelah jalan-jalan kecil desa Kabandungan menuju Cipeuteuy. Sampai terminal Cipeuteuy kami mengambil arah ke kanan, melawti portal. Jalan baru. Meski sebenarnya, jalan yang sebenarnya adalah jalan yang berbelok ke kiri. Setidaknya itu yang saya tahu. Beberapa penduduk sempat berpesan untuk hati-hati. Saya berdoa semoga tidak terjadi apa-apa. Beberapa kilo dari gerbang, kekacauan mulai terjadi. Truk paling depan berhenti. Dan kami semua berhenti. Dari hasil selidik, ternyata truk yang besar paling depan, tidak dapat melintasi jalan karena masih baru dan rawan longsor. Belum lagi tikungan-tikungan tajam disertai batu-batu yang membuat jalan semakin susah di tempuh. Kami semua turun. Mencari kesibukan masing-masing. Dan separuh berjalan untuk mengisi perut.

Jam di tangan sudah menunjukan pukul 1 lewat 40 menit. Berarti ini akan mulur, batin ku. Dari sini ke lokasi masih memakan tiga jam perjalanan. Sementara dari schedule yang sudah di arrange, kami akan sampai jam dua siang. Nampaknya, akan ada pergulatan emosi yang panjang, batinku kemudian.

Aku menunggu di sebuah warung. Bersama beberapa teman yang juga sama-sama „kelaparan”. Sementara beberapa teman panitia sibuk bernegosiasi dengan para sopir. Pekerjaan yang melelahkan memang. Beruntunglah, pada menit ke enampuluh dari jam dua siang, keputusan diambil. Kami melanjutkan perjalanan dengan menumpang dan menyewa beberapa truk yang memang biasa mondar-mandir di lintasan berbatu itu. Menyedihkan? Tidak juga. Menyikasa? Mmm sedikit. Karena harus rela berdiri selama kurang lebih dua setengah jam dalam hujan dan bergantungan di tepi truk terbuka. Layak sudah kami disebut pengembara. Ini mengingatkanku pada tahun-tahun pertama hoby pendakian. Dimana aku sering kali bertaruh nyawa untuk bisa sampai ke lokasi dengan menumpang mobil-mobil yang lalu-lalang dan kosong. Kemudian di kejar dan berlari secepat mungkin agar tidak tertinggal rombongan, demi menghemat stok uang yang ada di saku. BM. Yah...alias bonceng mobil.

Menjelang sore, truk pertama merapat di lokasi perkemahan di Bumi Perkemahan Citalahab Taman Nasional Gunung Halimun. Beberapa spanduk dari sponsor tampak menyambut kami ditengah siraman hujan gerimis. Akhirnya, dua jam dalam goncangan truk dapat kami atasi dengan sukses, meski punggung sakit dan betis yang bertambah besar menahan berat badan. Senyum kemenangan merekah dari wajah-wajah yang sayu keletihan. Kami menuruni jalanan tanah yang licin. Melintasi jembatan sungai berair jernih, dan menyebrang kelokasi kemah. Dipojok depan, kami disambut bau makan siang yang sudah terlewat. Karena lapar, kontan kami mendatangi tenda konsumsi berbondong-bondong. Nyatanya masalah belum berakhir disini. Setelah sadar, kami baru tahu bahwa tas dan carrier masih ada di mobil belakang, karena kami harus naik mobil pertama dan bawang-bawaan di angkut semuanya dalam mobil berikutnya. Aku menggerutu dalam hati…tapi nampaknya sudah tidak berguna…akhirnya kami pasrah pada keadaan dan nasib.

Pukul setengah delapan malam, rombongan terakhir datang. Membawa setumpuk tas yang dititpkan dalam hujan kepada para peserta. Solideritas kami diuji. Tanpa mengenal lelah, beberapa teman telah membawa barang-barang dari lokasi turun ke lokasi perkemahan. Tugas hari ini selesai. Aku mendirikan tenda dan berkeliling mencari beberapa rekan, mengkoordinasi acara untuk malam dan kemudian membaur bersama kehangatan teh manis bikinan seorang teman. Terima kasih kawan.

Acara puncak tahun baru dilalui dengan membakar seeokor kambing dan membuat api unggun. Beberapa pengamen mendendangkan lagu Kemesraan yang shadu. Udara dingin, hujan rintik-rintik. Meski hanya separuh dari peserta yang berpartisipasi, kami merasa, ini adalah malam terbaik dalam hidup kami.

Acara door prize dan gamez baru diadakan hari berikutnya. Disusul oleh sesi poto dan kemudian sesi pembicaraan dari sponsor dan undangan.
Kami pulang tepat pukul dua sore hari. Melewatkan hari-hari bersama sembilan komunitas penggiat alam bebas dengan tanpa batas.
Terima kasih Tuhan. Kau biarkan udara-Mu masih memenuhi rongga dadaku hari itu.

Boim Akar terima kasih;
Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan nikmat-Mu
Rasulullah Muhammad SAW untuk menjadi tauladanku
Ibu di rumah – Terima kasih untuk mengajarkan cinta pada tiap hembusan nafas-mu
9 Millist komunitas alam bebas. High Camp, Pendaki, Pangrango, Merbabu, Nature Trekker, Jejak Petualang, Jejak Alam, Geografic Indonesia,
Panitia kegiatan, dan Geng Buncit
Actech, the supporter acara
Bang Ogun, tamu istimewa
Geng Bekasi…Kissin –my gondrong brother-, Deden
Special Thanks, Sam om Bongkeng, Rep2, Enoy, Nanha, Ismi, Mia, Tetty, Hanief, Ical, Heru, Ibet, Lili, Ichi, very, Waku, Acong, Om Liem, semua panitia…
Semua peserta…u’are gorgeous

Boim Akar
Hidup akan terus berjalan selambat apapun dia
Dan roda akan terus berputar selambat apapun dia
Putran roda hidup yang membawa mu kepadaku

***