Tuesday, December 20, 2005

CERPEN - KEPERGIAN AYAH

KEPERGIAN AYAH

Menjelang masa remaja, aku lebih banyak menyibukkan diri dengan pelajaran sekolah. Aku termasuk beruntung, karena dari semua anggota keluargaku, hanya aku dan adikku yang sempat mengenyam pendidikan hningga ke bangku sekolah lanjutan. Kakaku yang pertama harus putus sekolah waktu menginjak kelas 6 sekolah dasar. Kemudian menikah dan mempunyai anak seperti layaknya sebuah keluarga. Pun kakakku yang kedua harus rela meninggalkan bangku sekolah untuk kemudian berjualan dipasar, guna mensupport ekonomi keluarga. Tinggallah aku dan adikku yang mengenyam sekolah lanjutan itu. Sayangnya adikku, juga tidak melanjutkan ketinggat menengah atas karena kemauannya yang keras. Tinggalah aku satu-satunya yang berhasil menyelesaikan sekolah menengah atasku.

Masa itu, adalah masa yang paling menyakitkan buatku. Masa kehilangan satu-satunya harapan dan sanadran hidupku. Ayah adalah segalanya buatku. Orang yang selalu membuat aku betah bertahan dalam rumah ku yang sederhana, orang yang memberikan motivasi terbesar dalam hidupku. Yang tidak pernah sekalipun mengeluh, pada tanggung jawab yang di pikulnya. Tidak pernah sekalipin aku mendengar beliau marah dengan murka kepada anak-anaknya. Apalagi sampai memukul.

Kepergian ayah, disebabkan karana sakit yang berpanjangan. Komplikasi antara hepar dan asma. Pada masa hidupnya ayah memang seoarng perokok berat. Aku yang belum bisa membalas budi baiknya, amat sangat terpukul dengan kematiannya.

bersambung---

CERPEN - AKU DAN MASA KECIL

AKU DAN MASA KECIL

“Malam dikampungku adalah nyanyi jangkrik, malam dikotamu adalah lagu kemaksiatan”
Itulah gambaran umum desa, yang sejak tahun seribu sembilan ratus delapan puluh satu, tanahnya aku tapaki. Airnnya aku minum. Dan sejuk udaranya aku hirup sebagai modal kehidupanku, hingga kini. Tak ada banyak orang yang tahu, bahwa satu daerah dikawasan penyangga ibukota, masih ada desa seperti tempatku. Ada sawah luas menghijau, jika sedang musim tanam, ada padi runut menjuntai menguning emas jika sedang musim panen. Jalan berbatu dan daerah yang rimbun adalah gambaran jelas, bahwa daerah kami memang amat sangat kaya dengan norma masyarakat desa yang arif.

Lampu minyak tanah yang kugunakan untuk belajar dimalam hari, tak pernah terhitung jasanya. Menerangi aku, yang dari belajar mengeja A, B, C, D hingga belajar mengaji, tak pernah letih menebar kan hangat dan terang. Terkadang, diwaktu bangun pagi, aku masih merasakan sisa nyalanya lewat lubang hidung yang berwarna hitam. Yang kemudian pada pelajaran disekolahku, aku tahu bahwa namanya adalah karbondioksiada atau CO2.

Jangan harap bisa bermain sepatu roda, atau playstation disini. Karena, untuk sekedar mendapatkan satu buah layang-layang pun, kami harus mencari kekampung tetangga. Sekitar tiga puluh menit dengan berjalan kaki. Kami tak pernah diajari untuk bisa memegang stick PS yang katanya sangat hebat itu. Permainan kami adalah layang-layang, yang harus merelakan badan terbakar matahari seharian, dan membuat kulit kecoklatan. Kemudian kami akan mandi disawah, atau di sungai kecil dipinggiran desaku, beramai-ramai. Bertelanjang bulat dan meloncat dari jembatan tengah jalan, membawa kesenangan tersendiri buat kami. Pada waktu sang penguasa siang pulang ke singgasanaya, kami akan pulang kerumah masing-masing, untuk kemudian bertemu di Musholla dan mulai mengaji hingga usai shalat Isya.

Dulu aku berfikir, jika aku besar aku ingin masuk menjadi seorang ABRI. Menaiki pesawat tempur, hingga aku bisa menjaga keluargaku dari musuh. Aku selalu membayangkan, bisa hidup dihutan luas, kemudian menyusup kesaranag penjahat, yang sepengetahuanku, penjahat itu tinggal dihutan, pakai baju compang camping, dekil dan jarang mandi. Lalu aku akan menyamar untuk dapat masuk kesana. Aku pasang ranjau-ranjau yang bisa meledakkan sebuah gedung pada tiap-tiap sudut persembunyiannya, kemudian aku bebaskan tawanan-tawanan yang ada disana, yang pastinya adalah orang desa yang dijadika budak oleh mereka, atau teman-temanku sesama tentara yang terjebak dan tak bisa keluar dari sarang penjahat itu. Setelah kosong, aku akan mulai meledakkan persembunyian mereka, dengan alat kontrol jarak jauh. Ada ledakan dimana-mana. Ada api berkobar dan ada jeritan-jeritan kesakitan dihutan itu. Aku berlari paling belakang, seperti layaknya seorang jagoan. Tapi, tiba-tiba rentetan peluru terdengar dibelakangku. Ternyata para penjahat itu tak rela tempat persembunyiannya diobrak-abrik. Jadilah pertempuan sengit diantara kami. Tapi tentu saja aku akan keluar sebagai pemenagnya, meski pada beberapa bagian tubuhku peluru panas tak bisa aku hindari.

Aku pernah bertanya kepada beberapa orang teman, jika disuruh memilih akan memilih mana, jadi anak-anak atau jadi seperti sekarang. Artinya tumbuh menjadi dewasa. Kebanyakakan mereka akan menjawab, bahwa mereka akan memilih jadi kecil terus. Menjadi anak-anak.

Boleh.
Mereka boleh saja mengemukakan pendapat, bahwa masa kecil adalah masa yang paling menyenangkan. Masa dimana mereka akan dapat menikmati segenap kasih sayang dari orang tuanya, dilayani, tanpa harus memilih yang benar dan yang salah. Bebas bermain sepnajang hari, dimandikan oleh ibu yang menyayangi dan dibuai oleh ayah setiap akan tidur. Tidak perlu susah-susah memikirkan hari esok, atau memikirkan segala hal, jka ingin sesuatu kita hanya harus minta kepada ayah ibu atau menangis sekerasnya.

Tapi buatku, masa kecilku adalah masa yang indah tapi sekaligus menyesakkan. Lahir pada satu keluarga didesa, dengan tingkat ekonomi yang boleh dibilang lemah, membuatku tidak punya kesempatan mengenyam kebahagiaan berlebih. Maksudku, tak ada mainan pada waktu kecilku yang aku terima dari ayah ibuku. Pada waktu teman-teman sibuk bermain aku akan sibuk di sawah membatu ayah, atau diladang membatu ibu. Jika, anak-anak yang lain membeli jajanan pada masa bermain, aku hanya akan melihat mereka dengan takjub, karena tak punya uang untuk itu. Aku harus belajar pada malam hari, karena kebanggaan yang aku punya, hanya aku adalah seorang yang lebih dikaruniai otak yang lebih encer dari teman-temanku yang lain. Rangking satu, selalu aku dapt dari masa aku kelas satu hingga aku kelas enam sekolah dasar. Kebanggaan yang sekaligus membawa kesediahan, karena semuanya toh tetap tidak berubah. Aku masih harus kesawah, masih harus keladang. Pun waktu penghargaan sebagai siswa teladan se Kecamatan dan Kabupaten aku dapat, posisiku tetap todak berubah.

Hari-hari masa keilku begitu indah. Setidaknya, aku masih punya orangtua tempat aku berlindung, punya ayah yang selalu siap menjadi jagoanku, berotot kawat bertulang besi. Aku adalah manusia yang paling beruntung.

CERPEN- AKU DAN PACAR GELAPKU

AKU DAN PACAR GELAPKU

Aku juga sebenarnya ragu, apakah dia itu pacarku atau bukan. Kedekatanku dengan gadi itu, berawal karena suatu hubungan kerja yang tidak terduga. Dia adalah teman sekantorku. Beda department, memang. Tapi, ya seperti aku bialng didepan, hoby ku terhadap alam yang membawa kami bertemu.

Sebenarnya, gadis it sudah lama bekerja ditempat aku bekerja. Tapi karena kami beda ruangan, maka jadilah aku jarang bertemu dia. Hingga pada suatu ketika, entah karena kebetulan atau memang takdir yang berbicara, aku and teman-temanku merencanakan untuk mengadakan pendakian ke sebuah gunung di Wonosobo. Ada sudah sembilan orang yang mendaftar kepadaku. Semuanya adalah anggota perkumpulanku.

Diluar dugaanku ternyata rencana itu bocor. Beberapa orang di tempatku bekerja mengajukan diri untuk ikut ambil bagian. Tapi semuanya aku tolak, dengan alasan, bahwa kami sudah terlalu banyak, dan alasan alasan yang aku buat sedemikian rupa dan sebaik mungkin agar semuanya kelihatan natural dan dapat diterima akal. Entah setan mana, atau malaikat aku juga tidak mengerti, ketika dia mengajukan diri, tanpa petimbangan kepada kawan yang lain, aku langsung menyetujui. Waktu itu, belum timbul perasaan apa-apa pada diriku. Semuanya hanya pertemanan biasa saja.

Dari pendakian itulah, benih-benih perasaan itu muali tumbuh. Pada setiap jejak langkah yang kami tinggalkan pada tanah yang berdebu, atau pada tiap dengusan nafas yang kami hempaskan melawan udara dingn, menyulamkan benang-benang sutra antara kami berdua. Tiap langkahnya seakan diiringi oleh segenap doa para penjaga langit. Anggun. Meski wajah sudah memerah, dan tarikan nafas yang satu-satu.

Jadilah kedekatan kami semakin akrab, setelah kami sapai kembali dikota kami. Kota seribu kenangan. Pertemuan demi pertemuan makin menyuburkan benih-benih yang memang sudah sangat ingin berkembang. Jadilah suatu perasaan khusu pada diriku, untuk menyakinkan hati ku bahwa ini adalah keputusanku. Pada kali kedua, aku ajak dia mengunjungi sebuah air terjun yang sangat terkenal di wilayah sebelah timur. Pada masa itu, aku baru menyadari, ternyata seoarang temanku juga menyukai gadis itu. Berterus terang dia mengatakan hal itu kepadaku. Dan semuanya menjadi sanggat sulit buatku. Mana yang harus aku pilih. Mempertahankan perasaaan pribadiku kepadanya, atau memperdulikan perasaan teman karibku, yang selama ini rumahnya aku tempati sebagai basecamp, yang sekian lama ini aku tidur dikamarnya. Teman yang sejak bertemu kami selalu berbagi, tempat tidur, bajuku adalah bajunya, dan lainnya. Apalagi aku tahu baru beberapa hari ini, dia ditinggal oleh pacarnya, yang sudah tiga tahun menjadi pacarnya, karena kata pacarnya, dia tidak sanggup hidup berdua dengan orang yang yang mengapelinya setiap malam minggu hanya dengan sebuah sepeda balap tua.

Tapi, jauh di dalam hati ku, ternyata aku lebih kecil di banding dengan dia. Dia punya segalanya. Artinya, dia punya istri yang mengerti dia dengan sangat tulusnya, dia punya anak yang lucu, dia punya ibu ayng selalu sayang padanya, juga adik-adaik yang menghormati dia. Lengkapnya sebuah keluarga terbentuk, dan harmonisnya sebuah keluarga tercipta adalah dia. (aku akan ceritakan mengenai hidupku dan teman-temanku pada bab yang lain).

Sekarang, kami masih sering bertemu. Walau perasaan itu masih terpendam jauh di dalam hatiku, aku selalu berusaha untuk berjalan lurus tanpa melihat kanan dan kiriku. Aku hanya percaya satu hal, bahwa kebaikan yang telah disemai akan bertunas, kemudian bebunga dan berbuah. Manis atau masam bukan ukuran tentu saja, tergantung keperluannya. Kita tidak akan menggunakan atau mencari buah yang manis untuk rujak, bukan? Tapi kita juga tidak akan memilih buah yang masam untuk kudapan.

Pada senja itu
Bayangan ayu mu mengikuti
Tiap langkahku

Tak bisa aku sembunyi
Atau berlari,
Karana
Kau pasti akan ada sedekat bayanganku
Dan sepasti denyut nadiku
Yang aku sembunyikan pada
Debaran jantungku

Perempuanku
Tumbangkan perasaan itu
Jangan biarkan tumbuh jadi bunga
Karena kita belum saatnya

CERPEN - AKU DAN PACAR KU

Kesalahan terbesar pada diri ku adalah, membiarkan orang ysang sangat menyayangi aku menderita. Setidaknya itulah yang sangat aku rasakan hari ini.

Seorang gadis manis berkerudung putih, yang beberapa bulan lalu aku berjanji padanya untuk saling setia, mengerti akan apa-apa yang aku rasakan, dan akan percaya pada setiap yang aku lakukan, sudah satu dua bulan ini tidak pernah aku hiraukan. Kata orang, aku pacaran dengan dia, si gadis manis itu. Kata orang juga, aku bukan pasangan yang cocok buat dia. Agak lebih pendek katanya, jadi tidak sebanding. Tapi aku maju terus, aku tak peduli. Toh, aku yang akan menjalani, begitu pikirku waktu itu.

Jadilah kisah cinta kami bermula. Mencoba mengukir kembali kisah manisnya Romeo dan Juliet, mengharu birunya Sam Pek dan Eng Tay. Menjalani setiap detik yang kami lewati bagaikan kisah indah dalam novel yang aku berikan kepadanya. Rasanya manis sungguh. Tak ada tiap detik pun berlalu tanpa hati ini menyebutkan namanya. Tak ada satu tarikan nafasku pun yang lewat tanpa menzikirkan namanya. Entah, sudah berapa banyak pulsa telepon yang keluar hanya untuk mendengar suara manisnya. Dan tak terhitung pula berapa banyak sudah telepon ke berbunyi pada tengah malam, yang kemudian kutahu ada namanya muncul pada layar hand phone ku. Untuk kemudian segera aku angkat, karena aku tak secuilpun ingin mengecewakan dia. Penat, letih, kantuk setelah seharian bekerja seakan hilang, dimakan angin malam yang dingin berganti hangat suasana demi mendengar suaranya yang merdu bak seorang penyanyi dangdut yang tadi sore kudengar menyanyi didepan para mentri pemerintahan.

Pekerjaan ku sebagai seorang sales officer pada sebuah perusahaan PMA Jepang, membuat aku begitu sibuk. Berangkat pagi-pagi sekali ketika orang lain masih lelap dalam tidur. Ketika ayam saja masih ada dalam buaian mimpi. Subuh hari, aku sudah bangun, mempersiapkan lembar kerja yang akan aku bawa ke kantor. Dikantor, jangan harap ada waktu untuk telepon ke dia, karena every minutes in my days are account! Kemudian pulang sudah larut malam. Sedangkan jarak antara rumah ku dan rumahnya lumayan jauh.

Minggu buatku adalah hari yang tiadak membuat senang. Kadang kala aku harus masuk kerja pada hari minggu, karena besok harinya aku harus mempersiapkan data yang akan dipergunakan untuk rapat inilah, presentasi itulah dikantor. Jadi, maaf cintaku, tak ada waktu buat mu minggu ini.

Jadilah aku sebagai manusia paling sibuk sedunia. Setidaknya menurut versiku sendiri. Walau kadang pada suatu masa aku masih menyempatkan bertemu dengan teman-teman permainanku, tapi sudah pasti bukan dengan dia. Sudah pasti aku akan menjadi orang paling gila, jika sudah bertemu dengan geng ku. Jadi ada banyak alasan kenapa aku tak mengajak kekasihku pada hari-hari pertemuanku dengan teman-teman. Pada masa itu, aku bisa sangat liar malah. Kami akan saling olok, saling caci, bahkan mungkin tertawa terpingkal-pingkal untuk kemudian saling berangkulan. Aku dan teman-temanku sebetulnya bukan sahabat dari kecil. Beberapa adalah sahabatku ketika kami di SMU. Dan sebagian lagi adalah sahabat, karena kami kerap kali harus ikut pada satu dua pendakian gunung. Dari sinilah persahabatan kami bermula. Beberapa dari mereka mempunyai visi yang sama denganku, sehingga segala urusan akan dapat selesai dengan mudah. Menurutku.

Bener memang apa yang dikatakan oleh seorang pakar pendakian gunung dari luar negeri, jika kamu ingin tahu kadar pertemanan sahabatmu, maka bawalah dia ke gunung. Dan aku sudah membuktikannya. Aku sudah mengetahui sifat teman-temanku dari lebih dekat dari pada seorang guru mengetahui kebadungan murid-muridnya. Atau seperti mahasiswa mengetahui kebobrokan pemerintahnya, dan mengharuskan mereka berdemonstrasi.

Pertemanan yang lahir dari hati, akan berujung pada hati. Begitulah kami. Beberapa memang sudah menikah, tapi masih ….sahabatku. Puluhan gunung se-jawa sudah kami daki, dan persahabatan itu pun semakain dalam terpatri. Aku pernah malah, tiga hari tidak pulang kerumah, karena harus nomaden dari satu rumah-kerumah temanku yang lain, padahal baru-satu dua hari ini aku kenal. Itulah, masa ku yang paling indah.
OoO

Hampir satu bulan aku tidak pernah berkabar kepadanya. Tak ada telepon untuknya, apalagi surat. Padahal setiap hari e-mail akan selalu kukirm buat para klien ku lewat PC ku di kantor. Tapi masih, untuk menulis sepucuk surat, atau sepenggal e-mail buatnya terasa tetap hal yang paling menyesakkan. Lama-kelamaan perasaan itu begitu menyiksa, Rasanya berat nian beban yang aku tanggungkan.

Pikiran jahat ku mulai bertahta, pada sudut hatiku yang paling dalam. Bagaimana cara memutuskan hubungan yang sudah tidak mungkin ku pertahankan. Sejuta alasan sudah kusiapkan manakala aku akan memutuskan benang merah ini. Mugkin itu egiois, atau apalah namanya aku tak tahu. Yang pasti aku harus menemukan cara itu. Aku tidak bisa terus menerus membuat ia menunggu. Telepon dariku, surat untuknya atau imel di inbox nya. Dia, terlalu baik untuk ku, yang tidak pernah tahu akan hari kelam masa laluku. Atau sisi gelap hidupku di masa belum mengenalnya. Yah, aku terlalu naif untuk mencintai seorang gadis yang ternyata dalam hatiku masih ada sejuta batu menghalangi sudut ruangan hatiku buatnya.

Tadi pagi, aku lihat gadis itu lagi, duduk manis dengan setelan warna hijau berkerudung putih. Seandainya aku bisa, mencintainya dengan sepenuh hati ku, sudah barang tentu aku akan mencintainya. Tapi ……..’

Maaf cintaku
Tak ada rindu buat mu hari ini
Tak kan lagi ada cinta buatmu
Hari ini
Semuanya
Sudah aku pendam pada lubang
Kubur
Sepasang merpati yang patah hati
Karena di hianati
Dan membunuh harinya
Dengan cinta yang tersisa
Enam bulan sudah usia hubungan kami. Bukan hubungan seperti orang kebanyakan memang. Prinsip saling percaya dan saling mengerti kesibukan masing-masing membuat ku betah untuk tidak menemuinya satu bulan sekalipun. Telepon tak pernah ku dial kan pada nomornya, Apalagi harus berkunjung kerumahnya. Dulu, aku berusaha untuk berpacaan secara biasa-biasa saja. Maksudnya, aku akan datang kerumahnya pada setiap sabtu malam, kemudian ngobrol sampai jauh malam atau sampai diusir kedua orang tuanya mungkin. Tapi nyatanya tidak. Dan tidak pernah aku lakukan. Batasnya hanya jam sembilan malam. Kadang jam delapan tiga puluh menit aku sudah pulang dengan berbagai macam alasan. Tak ada kendaraan untuk sampai kerumah lah, sudah terlalu malam lah, atau apapun sekenanya. Yang penting aku bisa melepaskan diri dari rutinitas yang –sungguh- membuat aku kaku. Aku beku pada ritual seremonial seperti ini. Bukan, bukan disini tempatku.
Lucunya lagi, aku ingin menciptakan hubungan yang Islami, pikirku. Padahal aku tahu, pacaarn tidak ada yang islami. Hanya pacaran setelah menikah saja yang ada. Berdua-duaan dengan orang yang bukan muhrim, akan menjadi ladang perjuangan setan paling mudah. Dan aku tak mau tentunya demikian. Aku bukan budak setan. Aku bukan budak setan!
Kalian boleh tanya pacarku, berapa kali dia aku cium. Berapa kali tangannya kau gandeng waktu berjalan. Tak pernah ku lakukan. Bukan aku tak mau melakukannya. Aku manusia yang normal. Jika ada kesempatan mungkin aku kan melakukannya. Tapi bukannya aku tidak punya kesempatan, terlalu banyak, mungkin. Waktu aku pergi nonton film kedua kami. Ynag bercerita tentang seorang anak SMU kelas satu, dan berkenalan dengan seorang laki-laki yang baru pulang dari Perancis. Disana kesempatan ku besar sekali. Toh aku tetap bisa menahan diri dengan sukses. Aku juga tidak berusaha menciumnya waktu dia berulang tahun. Malah ku undang semua temanku kerumahnya waktu itu. Sampai-sampai membuat orang tuanya kaget. Melihat anak-anak yang “sableng” berseliweran dirumah mereka. Yang gondrong, yang tertawa sangat keras, yang hobi membual semuanya komplit. Sementara teman-temannya semuanya anak manis yang duduk tersipu malu waktu di tanya oleh kedua orang tuanya. Begitulah ABG menurut ku, waktu itu. Jika didepan orang yang lebih tua akan manut seperti kapas kena air, tapi jikadi luar akan sangat liar seperti burung habis dikurung, dan kemudian di lepaskan.

Walau kami sama-sama telah bekerja, mungkin perbedaan umur yang membuat kami seakan punya jalan sendiri-sendiri. Aku diawal duapuluh lima, sedang dia diawal sembilan belas. Enam tahun perbedaan umur kami. Tapi toh pada awalnya komitmen kami bertemu jua, untuk menjalin satu hubungan yang manis, seperti Rangga dan Cinta, atau seperti Adit dan Tita.
Pacarku.
Gadis manis diusia awal duapuluhan. Tinggi semampai yang sejak bertemu denagan aku menyempurnakan diri menjadi wanita dengan memakai kerudung. Waktu ditanya oleh salah seorang temanku, katanya bukan karena aku. Tapi sudah niat dari dulu, katanya.
Dan aku tak pernah menanyakan kelanjutannya. Karana aku rasa itu adalah privasi, dan buatku itu adalah keputusannya dangan Tuhan yang tak boleh aku campuri. Itu adalah perjanjiannya dengan Tuhan yang telah dia tandatangani dan harus dijaga keabsahannya dan konsekwensinya.
Bekerja pada satu perusahaan dengan ku membuat volume pertemuan kami akan sering. Itulah yang seringkali diucapkan dan dikirirkan oeh teman-temanku. Tapi nyatanya, mereka salah besar. Jumlah pertemuan kami dikantor tidak seperti yang dipikirkan. Malah sangat jauh. Kesempatan ngobrol dan bersenang-senang pada jam istirahat justru sangat jarang bahkan tidak pernah kami lakukan. Aku akan lebih senang berada bersama teman-teman ku, makan pada satu pojok, kemudian setelah selesai kami akan bersendagurau sambil menyalakan berbatang-batang rokok. Kepulan asap dari tiap-tiap mulut akan berbaur, yang menurutku dalah kesenangan paling indah saat makan siang. Ditemani botol-botol teh yang kami beli secara patungan.
Sementara dia, ada pada sisi yang lainnya. Makan dengan manisnya, bersama beberapa temannya. Kecuali pada senin dan kamis, dia selalu menympatkan makan, walaupun secara kilat. Karena pada dua hari itu, yang kutahu dia kan berpuasa. Itulah kebiasaannya pada satu minggu yang sangat lekat pada ingatanku.
Buatku, menjadi pacarnya adalah ambisi dan kebanggaan. Betapa tidak, sejauh yang aku tahu, ada puluhan orang yang antri mendapat jawaban darinya. Salah satunya malah sempat bertanya langsung kepadaku. Katanya, apa dia sudah punya pacar atau belum. Dalam hati ku aku bersukur, ternyata aku menang. Aku bisa mengalahkan dia, padahal secara pisik aku sangat jauh dibandingkan dengan dia. Tingginya hampir seratus tujuhpuluhan, badannya bagus, kulitnya sawo matang, tubunhnya atlestis, menurut versiku. Tapi ternyata aku yang mendapatkan pacarku. Dan dia hanya jadi pecundang sejati yang sampai sekarang masih tersiksa setiap kali melihat kami pergi untuk makan siomay, ditempat favorit kami, disebuah warung sederhana di samping kanan sebuah pusat perbelanjaan yang belum lama ini dibuka dikotaku.

Masalah perhatian, dia tak ada duanya. Waktu penyanyi pavoritku menyelenggarakan koser pada sebuah tv swasta, padahal waktunya sudah cukup malam, dia meneleponku khusus untuk memberi tahukan ada lagu kesayanganku seang dinyanyikan Padahal waktu itu aku sudah duduk masnis didepan televisi dikamarku, ditemani sebungkus rokok dan sepiring penuh keripik singkong. Memang penyanyi yang satu itu aku gilai sampai aku bertekad membeli semua kasetnya yang sudah terbit. Malah pada suatu hari di ulangtahunku, dia membelikan kaset penyayi itu yang ternyata dia tahu aku belum punya. Entah, firasat saja atau tahu dari mana, aku tak pernah tanya. Tapi yang jelas perhatiannya adalah surga buat semua orang laki-laki. Pun halnya dengan buku yang selama ini aku idam-idamkan, suatu hari kuterima dibungkus sampul berwarna hijau – warna kesukaannya- dititpkan pada seorang temanku. Dalam setengah hari buku itu ludes aku baca.

Hubungannya dengan teman-teman ku juga baik. Pernah beberapa kali dia aku kenalkan pada teman-temanku. Pernah aku ajak menghadiri acara kumpul-kumpul club pencinta alamku, atau sekedar main bersama. Respon kedua elah pihak juga sangat baik. Tak ada yang mendiskriminasikannya. Intinya teman-teman ku menerimanya dengan sangat baik. Suatu kali dengan bangga kupamerkan kepada mereka, bahwa ini adalah pacarku. Mereka semua terbelalak. Menganga. Mereka sama sekali tidak percaya pada hal itu. Aku yang tidak pernah memperkenalkan seorangpun didunia ini, dan yang mereka tahu amat idealis, dengan berperinsip bahwa, aku kan punya pacar, tapi sekaligus punya istri, yanga maskudnya aku tak mau pacaran tapi harus langsung menikah, bukan pacaran seperti orang muda kebanyakan, tiba-tiba datang keperkumpulan dan bicara kepada mereka bahwa aku adalah orang paling bahagia saat itu, karena menggandeng seorang perawan manis berkerudung yang aku proklamirkan sebagai kekasihku tercinta. Siapa yang tak akan iri melihatnya. Takjub sekaligus tak percaya, bahwa orang seperti aku akan sangat berfungsi sebagai mahluk pencinta. Mahluk secuek dan seangkuh aku akan menggandeng seorang perempuan di acara pertemuan para pencinta alam. Dan itu adalah aku.

Senja merah di barat
Semburatkan surya terbenam di cakrawala

Gadis manis tertawa
Waktu sepedamotorku membelah malam
Berdua, menyusuri
Jalan panjang melintas pekuburan

Tangan nya mendekap erat pingangku
Matanya turut larut ke depan
Hatinya di hatiku
Dan lalu
Kita saling janji dan setia
Itu, dulu

Cerpen- Emak

Oleh : Boim Akar

Aku memabanting tas kerja ke tempat tidur. Kurasakan udara sore masuk lewat daun jendela yang masih separuh terbuka. Aku menyingkap gordain hijau yang mulai lusuh, membiarkan udara segar masuk dan membelai wajahku yang belum tersentuh air mandi. Pemandangan sore yang tak pernah aku saksikan setelah lima hari bertualang. Bau kamar yang mulai pengap, debu-debu yang memenuhi setiap sudut ruangan kecil tiga kali empat meter, serta ada belasan kaset yang terserak diatas meja kecil disudut ruang tidur. Suasana yang selalu dan selalu membuat aku rindu. Meski jauh dari kesan baugus, kamar ini telah banyak sekali melihat aku. Menyaksikan aku dengan tanpa pernah marah atau berduka.

Sudah lima hari aku tidak pulang. Rasanya, kenyamanan ruang dekil ini selalu menghantui setiap malam ku kemarin dan kemarin lalu. Meski berantakan, toh tetap saja aku akan betah berlama-lama mendengarkan alunan instrument dari seorang musisi besar Indonesia yang aku sukai. Atau berlama-lama membaca buku-buku yang aku deretkan disamping tempat tidur. Ada kenikmatan sendiri aku rasakan. Dalam ruang sempit ini, aku besar dan berkembang. Masa SMA dulu, aku sering kali mengunci diri disini. Merenungi gambar gadis-gadis manis dari majalah setengah telanjang yang aku dapat dari teman. Belajar merokok. Atau menyaksikan film dewasa untuk pertama kalinya. Disini, aku menangis waktu pertama kali diputuskan pacar pertamaku. Mengurung diri dan menguncinya dari dalam, hingga Emak harus tiap menit mengetuk pintu kamarku, untuk sekedar mengingatkan waktu sholat dan makan.

Emak? Aku tercekat. Pikiranku mendadak melayang jauh, untuk kemudian terhempas keras menembus aspal pekat jalanan. Melesak kedalam dan semakin dalam.

Dari semenjak pulang tadi, kenapa aku tidak melihat ibuku? Aku bergegas keluar dari kamarku. Menutup pintunya dan berjalan cepat. Melewati pintu tengah dan melompati tempat sampah yang diletakkan di sisi tengah tembok. Di meja makan, sudah tersedia nasi putih yang belum di sentuh. Sepiring tempe goreng dan semangkuk besar sayur bayam dengan jangung manis kesukaanku. Ada lalapan dan sambal yang rasanya akan membuat siapapun tidak akan rela beranjak dari meja makan dengan tergesa. Namun taku jua kujumpai perempuan lebut setengah baya itu. Aku beranjak ke sumur, tempat ibu biasa mencuci piring dan pakaian. Tapi, mana mungkin sesore ini ibu masih mencuci, batinku. Kubuka pintu belakang yang menghubungkan dapur dengan halaman belakang. Tidak ada.

Dengan perasaan gulana, aku kembali kedepan. Berharap ia sudah duduk diruang tivi sambil menyaksikan berita sore, seperti yang setiap hari dilakukannya. Biasanya aku akan bermanja-manja dalam pangkuannya. Duduk disebelahnya untuk kemudian menyandarkan kepalaku pada pangkuannya.
“ Kamu itu sudah besar, Wan. Umurmu sudah duapuluh empat tahun. Sebentar lagi kamu menikah, tapi kelakuanmu masih saja seperti kamu waktu SD dulu,” Emak menggumam sambil membelai rambut ikalku.
Matanya masih lekat menyaksikan berita sore di televisi. Aku yang baru saja pulang, duduk disampingnya kemudian merebahkan kepalaku pada pangkuannya. Tangannya yang mulai keriput membelai pipiku. Kasar.
“ Nggak apa-apa dong, Mak. Sama ibu sendiri ini. Kalo Wawan tiduran di pangkuan ibunya orang, baru Wawan malu. Kalo sama ibu sendiri, ngapain malu, “ jawabku enteng.
Ibu tersenyum dan tertawa kecil. Pipiku kembali diusapnya pelan.

Aku terhenyak. Bayangan peristiwa beberapa minggu yang lalu itu membuat aku kembali tersadar betapa tulusnya Emak mengasihiku. Semenjak Bapak meninggal dua puluh tahun yang lalu, aku memang bergantung sepenuhnya kepada Emak. Meski harus merelakan separuh dari warisan yang Bapak tinggalkan untuk membiayai sekolah dan kehidupan kami. Sebagai anak semata wayang, aku masih belum terlalu paham apa arti kematian saat itu. Yang aku tahu, hanyalah Bapak tertidur, kemudian semua orang menangis, termasuk Emak yang beberpa kali pingsan, ada orang mengaji, dan yang lain-lainnya menyalami Emak. Datang dan pergi. Setelah itu, semuanya berjalan seperti biasa. Rumah kami kembali sepi. Yang aku tahu, Bapak pergi dengan cara yang sangat aneh. Dibungkus. Kemudian tidak pulang hingga sampai saat ini. Barulah menjelang akil baliq aku tahu dan mengerti, bahwa Bapak telah meninggal. Menghadap Rabb nya untuk kekal selamanya disana.

“ Bapak sudah berbahagia disana. Disuatu tempat yang di janjikan Tuhan, bernama Syurga. Wawan sayang sama Bapak?” katanya suatu saat, ketika aku bertanya kenapa Bapak tidak pulang-pulang, “ kalau Wawan sayang sama Bapak, maka doakan Bapak setiap Wawan habis Shalat, yah,” jujar Emak tenang.
Jelas sekali ada aliran keteguhan dan ketabahan disana. Matanya yang sayu sedikitpun tidak meneteskan air mata. Kata-katanya tenang namun berwibawa. Aku memandang Emak dengan takjub. Beliau membelai rambutku dan memakaikan kopeh dikepalaku.
“ Ayo, sana lekas ke Mushola. Sebentar lagi azan. Wawan ada tugas adzan hari ini, kan?” kataya kemudian.

Baru aku sadari kemudian, ketika hari itu selepas sholat magrib aku pulang kerumah. Kebiasaan yang tak pernah aku lakukakan, karena biasanya setelah, isya baru kami pulang, aku dapati ibu menangis dan berdoa diatas sajadah dikamar. Lirih kudengar suaranya keluar lewat daun pintu yang tidak sepenuhnya tertutup. Aku mendengar namaku disebut dalam doanya.

Sudah pukul delapan lebih lima belas menit. Lampu-lampu sudah aku nyalakan. Beruntung aku selalu memegang kunci cadangan setiap kali pergi. Jalanan sudah mulai sepi. Aku duduk termangu di teras rumah. Sejurus kemudian aku masuk. Kemana Emak, pikriku. Tidak biasanya ia pergi, dan tetangga tidak ada yang tahu.

Aku mengunci pintu depan. Manyalakan tivi, dan duduk menunggu. Ketika tiba-tiba aku mendengar suara sepeda motor mendekat, dan berhenti didepan rumah. Ini pasti, Emak, pikirku. Secepat kilat aku membuka pintu depan. Dan Emak kulihat turun dari ojek sepeda motor, mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang seribuan. Ia tersenyum kepadaku. Mengucapkan terima kasih kepada si ojek, kemudian menghampiriku. Aku menyaksikan sosok setengah baya ini, masih sama seperti dulu. Lembut dan tangguh.

“ Assalamualaikum. Udah pulang rupaya sang petualang, Emak. “
“ Alaikum salam. Dari mana, Mak? Kok malem banget pulangnya?” kataku memberondongnya dengan pertanyaan. Aku meraih punggung tangannya dan menciumnya.
“ Kamu itu, Emak baru pulang sudah ditanyain banyak-banyak. Lah kamu kemana saja, lima hari nggak pulang, tadinya Emak malah mau lapor kepolisi,” katanya tersenyum.
Aku tertawa kecil. Itulah Emak, dalam keadaan capek seperti ini pun, masih ada saja sisa humor yang tersisa.
“ Wawan kerumah teman, Mak. Ibu dan Bapaknya pulang kampung. Katanya sih, ada saudaranya yang akan menikah atau apa, gitu. Jadi, Wawan menemani dia di rumahnya,” jawabku kemudian.
“ Perempuan, yaa?” katanya kemudian. Ada penekanan yang dalam pada kata perempuan.
“ Ya laki-laki lah, Mak! “ jawabku sengit, “ kalau perempuan, mana mau Wawan berdua-duaan menemani dia di rumahnya. Gini-gini, anak Emak, masih punya sopan-santun,”
“ Iya, tapi udah nggak sayang sama Emak,” katanya sambil tertawa kecil.
“ Loh kok begitu? Apa buktinya?”
“ lah, kamu lebih senang menemani kawanmu di sana, dari pada menemani ibu, dirumah. Padahal sama-sama sendiri,” katanya kemudian.
“ Bukan begitu, Mak. Kalau Emak kan tiap hari ketemu sama Wawan. Kalau dia kan nggak. Nggak apa-apa kan, “ bantahku.
“ Nggak! Nggak!” jawabnya mengalah.

Sejurus kemudian, Emak masuk ke kamarnya. Aku masih menunggu didepan meja makan.
“ Kita makan, Mak, “ ajakku.
“ Kamu makan saja dulu. Emak masih mau istirahat. Lagian, tadi Emak sudah makan,”
“ Emak belum cerita tadi kemana,”

Gordein penutup pintu kamar Emak tersibak. Seraut wajah keluar dengan senyuman tipisnya. Kecantikan yang tidak pernah pudar. Meski usianya sudah menapak senja, tapi sisa-sisa kecantikan masih melekat kuat pada pancaran wajah dan matanya. Emak menarik kursi meja makan dan duduk berhadapan dengan ku. Mengambil sebuah piring, kemudian mengambil nasi dan menghidangkannya buat ku. Aku menyambutnya. Mengisi piringku dengan lauk pauk yang ada dan makan.

Aku tidak menyadari sepenuhnya, Emak menatapku lekat-lekat. Menatap dengan mata sayu kepadaku.
“ Wan…,” katanya tiba-tiba
Aku menunda suapan makanan ku yang terakhir. Menatap Emak yang mulai bercerita.
“ Maafkan emak ya Wan. Dari kecil, kamu selalu menderita. Hidup apa adanya, kekurangan, nggak punya ini dan itu. Waktu teman-temanmu kesekolah naik sepeda, kamu harus rela jalan kaki. Waktu SMA, kamu harus rela naik bus, padahal teman-temanmu naik sepeda motor,” mata Emak berkaca.

“ Emak kenapa ngomong begitu? Wawan nggak apa-apa, Mak. Udah bisa makan tiap hari aja, udah bersyukur. Bukannya Emak yang selalu bilang, kalau kita bersyukur, makan nikmat Tuhan akan bertambah buat kita?” kataku.

“ Tadi, emak ke rumahnya om Wisnu. Teman bapak yang ada di Bogor. Kamu tahukan? Sebelum Bapak meninggal, kami memang pernah sepakat untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan beliau. Sekarang anaknya om Wisnu, Elia, sudah lulus kuliahnya. Om Wisnu, menanyakan kembali kepastian mengenai hal tersebut. Bagaimana Wan?”

Aku tercekat. Keringat dingin mengalir didahi ku. Aku taruh suapan terakhir sisa makan malamku kedalam piring. Aku tidak percaya.
Mana mungkin bisa, diera seperti ini, aku harus di jodohkan.

Aku menatap ibu lekat-lekat. Apakah hari ini, aku harus menjadi orang yang mengingkari perasaanku? Atau aku harus mendurhakai Ibuku?